BAB I PENDAHULUAN
Setiap sistem Pemilu memiliki karakteristiknya masing-masing yang merupakan kelemahan ataupun kelebihan yang dimilikinya. Sistem Pemilu distrik misalnya memiliki asumsi dasar bahwa setiap pemenang Pemilu haruslah mereka yang mendapatkan dukungan pemilih lebih banyak dari lain (popular winner). Sistem ini banyak digunakan untuk pemilihan presiden/wakil presiden atau menentukan siapa yang berhak mewakili suatu daerah pemilihan tertentu di lembaga legislatif. Kekhawatiran bahwa akan terdapat banyak suara yang hilang atau tidak diperhitungkan memang menjadi persoalan mendasar dari sistem ini. Beberapa variasi sistem coba diperkenalkan, seperti absolute majority ataupun preferential ballot. Akan tetapi, dalam beberapa segi kelemahan ini masih terlihat walaupun dalam derajat yang semakin berkurang.
Sistem Pemilu proporsional memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap suara haruslah diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi tersebut, istilah pemenang sesungguhnya bukanlah mereka yang mengalahkan kontestan lainnya; melainkan peraih suara terbanyak karena selain mereka masih ada kontestan lainnya yang juga diperhitungkan perolehan suaranya walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena itu, sistem proporsional ini lebih cocok untuk mencari wakil penduduk dan bukannya wilayah dan sering dipergunakan untuk negara-negara yang memiliki masyarakat yang cenderung plural. Derajat keterwakilan sistem ini relatif lebih baik, namun masih kalah oleh sistem distrik dalam hal kedekatan antara kontestan dengan pemilih. Beberapa variasi diperkenalkan oleh sistem ini untuk mengurangi kelemahan itu dengan mengambil beberapa prinsip sistem distrik dalam hal pemilih menentukan sendiri siapa kandidat yang disukainya di samping tanda gambar.
Perkembangan Partisipasi Politik di Indonesia
Partisipasi politik dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat di suatu negara. Masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik, seperti pendidikan rendah, ekonomi kurang baik dan kurang memiliki akses informasi membuat pola partisipasinya cenderung dimobilisasi. Karakteristik tersebut belum mendorong masyarakat untuk membangun suatu pola partisipasi yang mandiri. Sejak merdeka, elite-elite partai cenderung menggunakan cara-cara mobilisasi ataupun penetrasi ke masyarakat untuk mendukung partai politik tertentu. Demokrasi parlementer yang dinilai memiliki ruang publik dan kebebasan politik yang memadai juga ditandai dengan intervensi elite lokal maupun pusat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pola semacam itu tidak berubah, ketika pemerintahan berganti menuju Orde Baru. Orde Baru mempergunakan pola-pola mobilisasi dan simbolisasi serta pemutusan hubungan masyarakat dengan kegiatan politik untuk mempertahankan kekuasaan dan menghindari kritik (input). Kemajuan ekonomi warisan Orde Baru dan kebebasan politik pada masa reformasi tidak serta merta merubah pola-pola semacam itu. Masyarakat perkotaan telah mengalami perubahan yang signifikan sehingga input masyarakat demikian kuat. Sebaliknya, masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan yang membuatnya sulit mengembangkan partisipasi yang sukarela dan rasional. Walaupun demikian, beberapa studi yang dilakukan sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan pun telah memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya di dalam politik di tingkat lokal hingga nasional dengan cara pandangnya sendiri.
Pemilu-pemilu di Indonesia
Sebagai pemberi legitimasi, Pemilu Orde Baru memainkan peran yang sentral untuk keberlangsungan rezim. Sejak Pemilu 1971, Pemilu tidak lebih dari sekadar pemberi legitimasi bagi Golkar untuk mendorong Soeharto sebagai presiden. Untuk keperluan itu, hasil Pemilu dalam persepsi rezim, haruslah memberikan kemenangan yang cukup signifikan bagi Golkar agar mampu mengatur dukungan parlemen atas Soeharto menjadi presiden. Beberapa cara dipergunakan untuk tujuan tersebut di antaranya pemutusan hubungan partai dengan rakyat melalui kebijakan floating mass, deideologisasi partai, monoloyalitas pegawai negeri dan fusi partai. Selain itu, dukungan birokrasi dan militer turut memberikan andil bagi tingginya perolehan suara Golkar. Menurunnya dukungan kedua lembaga tersebut atau minimal mengarah kepada netral disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya suara Golkar pada Pemilu 1999. Selain itu, mekanisme pemilihan umum juga membuat dukungan terhadap dua partai lainnya tidak mampu memaksimalkan persaingan. Sempitnya waktu kampanye dan sosialisasi berdampak pada rendahnya akseptabilitas masyarakat terhadap keduanya. Selain itu, sistem daftar nama yang diterapkan juga lebih memperkuat peran partai dalam menentukan wakil partai di parlemen dibanding suara rakyat sendiri sehingga muncul kesan bahwa wakil rakyat hasil pemilihan tidaklah menjadi wakil rakyat melainkan wakil partai. Rendahnya peran pemilih dalam menentukan wakil rakyat diubah dalam Pemilu 1999 sebagai Pemilu pertama yang menggantikan sistem Pemilu sebelumnya yang dianggap tidak memuaskan. Walaupun masih menggunakan daftar nama dan hanya memilih partai, penentuan wakil rakyat ditentukan oleh perolehan suara dari daerah asal seorang calon wakil rakyat. Cara ini diperbaiki lagi dalam Pemilu 2004 dengan mencantumkan nama di samping tanda gambar partai. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menentukan wakil yang lebih disukainya. Akan tetapi, sistem ini pun dinilai memiliki kelemahan di mana calon wakil rakyat harus mendapatkan BPP (bilangan pembagi pemilih) untuk dapat terpilih tanpa memperhatikan urutan nama di sebuah partai. Jika tidak terdapat calon yang mampu meraih BPP maka penentuan wakil rakyat didasarkan kepada nomor urut kembali. Di kemudian hari, kemungkinan untuk menghilangkan faktor BPP menjadi satu agenda yang penting agar wakil rakyat yang terpilih merupakan wakil rakyat yang paling populer (berdasarkan popular vote) dan tidak diwajibkan pula memilih tanda gambar partainya menjadi satu hal yang penting untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang lebih baik.Perubahan lain yang signifikan adalah diselenggarakannya pemilihan langsung untuk menentukan siapakah yang menjadi presiden dan wakil presiden. Pemilihan langsung ini menggunakan sistem absolute majority dengan ketentuan bahwa pemenang haruslah pasangan yang memperoleh dukungan suara lebih dari 50%. Pemilihan dengan basis distrik ini juga diterapkan dalam pemilihan anggota DPD sebanyak empat orang dari setiap provinsinya.
BAB II TIJAUAN
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.
2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.
4. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik
atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan
bagaimana melaksanakan tujuannya.Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Pembagian atau alokasi adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat.Jadi, politik merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara mengikat.Sistem pilitik suatu Negara selalu meliputi 2 suasana kehidupan. Yaitu:
a. Suasana kehidupan politik suatu pemerintah (the Govermental political sphere)
b. Suasana kehidupan politik rakyat (the sociopolitical sphere)
Suasana kehidupan politik pemerintah dikenal dengan istilah suprastruktur politik, yaitu
bangunan “atas” suatu politik. Pada suprastruktur poliyik terdapat lembaga-lembaga Negara yang mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan politik (pemerintah).Suasana kehidupan politik pemerintahan ini umumnya dapat diketehuai dalam UUD atau konstitusi Negara yang bersangkutan. Suprastruktur politik Negara Indonesia meliputi MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, danDPA. Suasana kehidupan politik rakyat dikenal istilah “Infrastruktur politik” yaitu bangunan bawah suatu kehidupan politik, yakni hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelompokan warga Negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat.Infrastruktur politik mempunyai 5 unsur diantaranya:
1. Partai politik
2. Kelompok kepentingan
3. Kelompok penekan
4. Alat komunikasi politik
5. Tokoh politik
B. Dasar Pemikiran Diadakannnya Pemilu
Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip ini tercantum dalam UUD 1945. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, perlu dibentuk lembaga- lembaga permusyawaratan /perwakilan rakyat yang anggota – anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan (keterbukaan).
Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan system pemerintahan Negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintahan Negara yang dibentukmelalui pemilihan umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahtraan rakyat. Hanya pemerintahan Negara yang memancarkan kedaulatan rakyatlah yang memiliki kewibawaan kuat sebagai pemerintah yang amanah. Pemerintahan yang dibentuk melalui suatu pemilihan umum akan memilikilegitimasi yang kuat.
ASAS- ASAS DAN TUJUAN PEMILU
Nomor XIV/MPR 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang
pemilihan umum, bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara demokratis dantransparan, berdasarkan asas JURDIL(jujur dan adil) dan LUBER(langsung, umum, bebas, dan rahasia).
pemerintah dan partai politik peserta pemilihan umum, pengawas dan
pemantau pemilihan umum, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat
secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, tanpa ada
pengistimewaan atau diskriminasi terhadap pemilih atau peserta pemilu. Asas
jujur dan adil tidak hanya ditujukan kepada pemilih atau peserta pemilu saja,
tetapi juga penyelenggara pemilu.
dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
dalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah
kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang
sudah berumur 21 (dua puluh Satu) tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang
bersifat umum itu mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga Negara yang telah memnuhi persyaratan
tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan
haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih
sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapa suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang
telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara suka rela bersedia
mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun.
Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, serta cita- cita proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945, perlu diselenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum
bertujuan untuk memilih wakil rakyat, membentuk pemerintahan, melanjutkan
erjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan umum yang demokratis merupakan sarana untuk menegakkan
kedaulatan rakyat dan untuk mencapai tujuan Negara. Oleh karena itu, pemilihan
umum tidak boleh menyebabkan rusaknya sendi- sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
BAB III PEMBAHASAN
Suara Golput Sepanjang Pemilu
Keterangan: Angka Golput = DPT-(pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya + jumlah suara tidak sah).
Apabila menyimak angka-angka dalam tabel di atas menunjukkan bahwa, pelaksanaan pemilihan umum dari waktu ke waktu, jumlah golongan putih (golput) menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1955, yang dikenal paling luber dan paling demokratis, tingkat golput mencapai 12,3 persen. Fenomena golput masih belum tinggi di era pemilu orde baru yang rakyatnya masih dimobilisasi dalam pemilu. Pemilu 1971 golput mencapai 6,7 persen, kemudian meningkat menjadi 8,4 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,1 persen, dan 10,1 persen dalam Pemilu 1997. Sedangkan suara golput yang dicapai pada Pemilu 1999, pasca jatuhnya rezim otoriter, angka golput juga masih meningkat, yakni mencapai 10,2% persen. Hal ini bila memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput. Pada saat Pemilu 2004 angka golput meningkat tajam menjadi 23,34% persen.Pertanyaan yang layak diajukan kemudian, bagaimana bisa terjadi perubahan yang begitu cepat sikap rakyat terhadap partai politik dan rendahnya partisipasi politik, rakyat yang ditahun 1999, menyambut secara gegap-gempita hadirnya partai politik baru, dan terlibat secara suka rela untuk mendatangi kampaye dengan berarak-arakan, maupun datang ke bilik-bilik tempat pemungutan suara, untuk memberikan suaranya. Kondisi ini kemudian berbalik pada pemilihan umum tahun 2004. Pertayaan yang lebih lanjut sebenarnya bagaimana peran partai politik ditengah-tengah masyarakat.Representasi Semu Wakil Rakyat Pemilu pertama setelah rezim otoriter soeharto, melahirkan sirkulasi elit-elit baru dari pentas politik nasional, lahirnya elit politik baru/para wakil rakyat diharapkan akan membawa kepentingan rakyat yang menjadi konstituennya, selain itu para wakil rakyat ini menjadi representasi dari partai politik, yang lebih jauh sebenarnya merupakan representasi rakyat yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Hadirnya elit baru ini dimungkinkan karena salah satu dari fungsi partai politik, yakni rekrutmen politik. dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi/mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut. Hadirnya para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, diharapkan membawa kepentingan para konstituennya, dan memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat, akan tetapi kehendak ini jauh dari harapan semula, banyak kasus dijumpai para wakil rakyat lebih mengendepankan kepentingan pribadi dan partainya, fenomena penggusuran yang dialami pedagang kaki lima, penggusuran warga stren kali; mencerminkan betapa lemahnya para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dan kepentingan kelompok-kelompok marjinal di perkotaan. Ini sekali lagi menunjukkan representasi yang semu para wakil rakyat. Representasi yang semu dari para wakil rakyat, menunjukkan bahwa para wakil rakyat tidak berangkat dari dukungan rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Mereka hanya menjadi kepentingan partai politik semata, banyak dari wajah-wajah anggota DPR yang tidak dikenal rakyat, akan tetapi mereka para wakil rakyat sebagai anggota DPR, hanya karena kedekatannya dengan elit partai politik atau memiliki modal financial yang cukup untuk membeli nomor urut pencalegkan, maupun untuk membeli suara pemilih. Secara social para wakil rakyat ini tidak tumbuh dan besar dengan pergumulan rakyat, sehingga menjadi wajar para wakil rakyat tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.Rekrutment politik yang diharapakan sebagai sarana terjadinya rotasi dan mobilitas politik dalam tubuh partai, dimana terjadinya pergantian elit politik lama, dengan elit politik baru, baik secara alamiah maupun sebagai sarana hukuman rakyat terhadap elit. Rakyat sebenarnya berada pada posisi yang sentral dalam proses demokrasi, elit partai yang menjadi anggota DPR yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, akan dihukum dengan tidak memilihnya lagi pada pemilihan selanjutnya. Tetapi dalam kenyataannya partai politik selalu menghadirnkan elit-elit/caleg yang tidak mengakar pada rakyat, sehingga meskipun dimungkinkan untuk terjadi rotasi politik dalam tubuh partai, rakyat selalu mendapati para pemimpin yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, proses politik ini akan meminimalkan partisipasi politik rakyat, karena tiadanya wakil rakyat yang layak untuk dipilih.
B. Memperkuat Peran Partai Politik
Partisipasi politik rakyat menjadi elemen yang penting dalam proses demokrasi, tanpa partisipasi politik aktif rakyat, proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur demokrasi saja, selain itu minimnya partisipasi politik rakyat, hasil pemilihan umum menjadi lemah/kehilangan legitimasinya. Ada beragam cara untuk mendorong partisipasi politik rakyat; antara lain, Pertama; memperkuat kembali peran dan fungsi partai politik, peran dan fungsi partai politik antara lain sebagai sarana sosialisasi politik, Rekrutmen politik. Partisipasi Politik. Pemadu Kepentingan. Pengendalian Konflik, dan Kontrol politik. Selain itu partai politik memiliki struktur sampai pada tingkat yang paling bawah hingga pada tingkat RW, struktur ini akan efektif sebagai sarana pendidikan politik warga. Partai politik juga menjadi alat yang legal untuk melakukan pendidikan politik, peran-peran ini bila dilakukan secara maksimal akan menggantikan peran LSM dalam melakukan pendidikan politik rakyat. Kedua; memperkuat keterwakilan/representasi wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, partai harus lebih selektif dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk menentukan caleg yang akan diajukan pada pemilihan, baik menjadi caleg/calonwalikota, baik kapasitas/kemampuan secara personal juga rekam jejaknya, selain itu aspek representasi ini juga memasukkan unsur kedekatan caleg atau cawawali dengan rakyat, ada kesejarahan antara kandidat yang akan diusung dengan kerja-kerja pendampingan pada rakyat.
C. Perkembangan Partisipasi Politik dan Pemilu di Indonesia
A. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Sepanjang sejarah Indonesia yang menganut Negara berkedaulatan rakyat,telah diselenggarakan 10 kali pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD,yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Namun disini kami mengklarifikasikannya menjadi tiga bagian, yaitu pemilu tahun 1955, pemilu masa orde baru, dan pemilu era reformasi.
1. Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih
anggota- anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan Umum tahun 1955 merupakan pemilu nasional yang aman dan damai. Sebagaimana pemilu tahun 2004, partai politik peserta pemilu pada pemilu 1955 juga mencantumkan nama calon legislatifnya, sesuai dengan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Sifat terbuka dapat dilihat dari mekanisme pemilihannya, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 67 adalah pemilih memberikan suara kepada suatu daftar dengan menusuk tanda gambar daftar itu.(pasal 67 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1953). Selain itu, ketentuan UU yang menentukan bahwa pemilih yang mempunyai tempat tinggal lebih dari satu, harus menentukan salah satu tempat tinggalnya. Baik untuk menghindari adanya pendaftar doble dan juga untuk menghindari adanya kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh pemilih dengan memilih didua tempat.Lima besar dalam pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi,Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan partai Syarekat Islam Indonesia.Sebagai sebuah langkah awal untuk membentuk pemerintah yang demokkratis,pemilu tahun 1955 menjadi preseden baik bagi tumbuhnya semangat berdemokrasi untuk Indonesia.
2. Pemilu Orde Baru
Pemilu selama orde baru berlangsung selama enam kali dan hasil pemilu orde baru pada waktu itu didominasi oleh Golkar, dimana dia selalu menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara mutlak (diatas 50%).Pada pemilu orde baru memang mengandung berbagai kelemahan:
1. dari segi keterwakilan, wakil- wakil yang dicalonkan oleh partai tidak terikat oleh ketentuann domisili
2. dari segi hubungan antara wakil dan konstituennya, sisitem pemilu pada orde baru melahirkan hubungan yang renggang antara rakyat dan wakilnya.
3. komposisi DPR didominasi oleh mereka yang berasal dari wilayah yang padat penduduknya. Selain itu, dari sudut sistem kepartaian, pemilu orde baru memang menunjukan kesetabilan politik yang pada waktu itu hanya terdapat tiga partai politik, maka akan lebih mudah bagi partai yang menang dalam pemilu untuk memobilisasi massa dalam pemilu- pemilu berikutnya. Namun, kesetabilan tersebut tidak membawa dampak baik bagi masyarakat, karena justru kesetabilan itu memunculkan sebuah implikasi negative yaitu hak politik rakyat terbendung. Karena dalam perjalanannya, partai politik yang sudah ada itu tidak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat.
3. Pemilu Masa Reformasi
Reformasi ternyata membawa perubahan yang signifikan, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu 1999. Ternyata sistem multi partai pada saat itu membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi politiknya. Munculnya banyak partai politik pada saat itu yaitu 48 partai politik membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak buta politik. Dari segi kelembagaan, pelaksanaan pemilu pada Tahun 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati demokratis, ada komisi pemilihan umum. Terdapat juga lembaga pengawas dan pemantau pemilu yang non partisan. Dan lembaga yang terakhir ini dalam pemilu orde baru mustahil terjadi. Pada pemilu 2004, nampaknya dari segi kelembagaan pemilu ada perubahan. Komposisi KPU tidak lagi seperti pemilu 1999. KPU berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan wakil- wakil dari partai politik dan pemerintah.Meskipun pemilu 2004 diwarnai oleh beberapa kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu 2004 lebih baik dibandingkan ddengan pemilihan sebelummnya.Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya, baik pilihan partainya maupun pilihan wakil- wakilnya. Sistem pemilihan yang seperti ini dapat merekatkan hubungan antara si wakil dan yang di wakilinya.Mungkin kekurangan atau kelemahan pemilu 2004 ini hanya pada kurangefisiennya sosialisasi mengenai pendaftaran pemilih, cara pencoblosan dan sosialisai caleg masing- masing parpol seharusnya dilaksanakan jauh- jauh hari sebelumnya.
4. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden pertama diselenggarakan pada Tahun 2004.
D. PROSES PARTISIPASI POLITIK DAN PEMILU DI INDONESIA
Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota- anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
• Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai
politik dan individu,
• Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia,masyumi ,Nahdatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari
partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa,
yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal
ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih
anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan
oleh anggota M P R.
Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggotaD P D, suatu lembaga perwakilan
baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah
KOMISI PEMILIHAN UMUM
Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah
sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu,
KPU dituntut independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandir menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapaperaturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undangsecara lebih komprehensif.Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembagapenyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD,jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidakmengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden. Pemilu 2009 Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Sejak rezim orde lama, orde baru mau pun era reformasi system politik dan pemilu Indonesia banyak sekali mengalami perubahan. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pemilu ini masih ditemui berbagai macam permasalahan tetapi ini semua wajar. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapat berjalan dengan lancar. Sehingga partisiapasipolitik dan pemilu di Indonesia terus mengalami kemajuan kea rah yang lebih baik ,bukan hanya banyak nya partai yang ikut serta tetapi tetapi harus di sertai kualitas dan adanya keinginan untuk memajukan bansa dan negara sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila.
B. SARAN
1. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara dan Pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi pemerintahan Negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka”
2. Menciptakan situasi dan kondisi yang lebih baik lagi dalam pemilu, apabila kita ingin mendapat pemimpin yang efektif serta dapat menggunakan dan menggabungkan berbagai gaya leadership yang berbeda, yang berakar pada sejumlah elemen nilai- nilai, emosional, dan intelektual yang unik.
3. Partisipasi politik dan pemilu sangat menentukan kemajuan dan kewibawaan suatu negara untuk itu diperlukan kesadaran yang tinggi pemerintah,pelaku partai politik dan masyarakat untuk menjalankan sistim politik dan pemilu yang lansung,umum,bebas,rahsia serta jujur dan adil yang bukan hanya sebagai selogan.dan juga system kepartaian yang berkualitas serta di perlukan peran serta pemeritah dalam membatasi jumlah partai politik dengan cara yang demokratis.
4. Undang – Undang Dasar dan pancasila adalah pedoman kita dalam menjalankan system politik dan pemerintahan untuk itu perlu ketegasan dan kesadaran kita dalam menjalankan nya.
DAFTAR FUSTAKA
Amir Taat Nasution, “Kamus Politik Nasional”, Energie, 1953
Arbi Sanit, “Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan”,
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980
Assosiasi Ilmu Politik Indonesia, “Jurnal Ilmu Politik”, Gramedia, 1986
Theda Scokpol, “States and Social Revolutions” New York: Cambridge
University Press, 1979
Mariam Budiarjo, dkk, “Dasar-dasar ilmu Politik”, Gramedia, 2003
Murshadi “Ilmu Tata Negara; untuk SLTA kelas III”, Rhineka Putra,
bandung, 1999
Nugroho Notosusanto, “Sejarah Nasional Indonesia”, Balai Pustaka, 2008
Nazaruddin, “Profil Budaya Politik Indonesia”, Pustaka Utama, 1991
Nazaruddin Sjamsuddin, “Dinamika Politik Indonesia”, Gramedia Pustaka
Utama, 1993
Setiap sistem Pemilu memiliki karakteristiknya masing-masing yang merupakan kelemahan ataupun kelebihan yang dimilikinya. Sistem Pemilu distrik misalnya memiliki asumsi dasar bahwa setiap pemenang Pemilu haruslah mereka yang mendapatkan dukungan pemilih lebih banyak dari lain (popular winner). Sistem ini banyak digunakan untuk pemilihan presiden/wakil presiden atau menentukan siapa yang berhak mewakili suatu daerah pemilihan tertentu di lembaga legislatif. Kekhawatiran bahwa akan terdapat banyak suara yang hilang atau tidak diperhitungkan memang menjadi persoalan mendasar dari sistem ini. Beberapa variasi sistem coba diperkenalkan, seperti absolute majority ataupun preferential ballot. Akan tetapi, dalam beberapa segi kelemahan ini masih terlihat walaupun dalam derajat yang semakin berkurang.
Sistem Pemilu proporsional memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap suara haruslah diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi tersebut, istilah pemenang sesungguhnya bukanlah mereka yang mengalahkan kontestan lainnya; melainkan peraih suara terbanyak karena selain mereka masih ada kontestan lainnya yang juga diperhitungkan perolehan suaranya walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena itu, sistem proporsional ini lebih cocok untuk mencari wakil penduduk dan bukannya wilayah dan sering dipergunakan untuk negara-negara yang memiliki masyarakat yang cenderung plural. Derajat keterwakilan sistem ini relatif lebih baik, namun masih kalah oleh sistem distrik dalam hal kedekatan antara kontestan dengan pemilih. Beberapa variasi diperkenalkan oleh sistem ini untuk mengurangi kelemahan itu dengan mengambil beberapa prinsip sistem distrik dalam hal pemilih menentukan sendiri siapa kandidat yang disukainya di samping tanda gambar.
Perkembangan Partisipasi Politik di Indonesia
Partisipasi politik dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat di suatu negara. Masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik, seperti pendidikan rendah, ekonomi kurang baik dan kurang memiliki akses informasi membuat pola partisipasinya cenderung dimobilisasi. Karakteristik tersebut belum mendorong masyarakat untuk membangun suatu pola partisipasi yang mandiri. Sejak merdeka, elite-elite partai cenderung menggunakan cara-cara mobilisasi ataupun penetrasi ke masyarakat untuk mendukung partai politik tertentu. Demokrasi parlementer yang dinilai memiliki ruang publik dan kebebasan politik yang memadai juga ditandai dengan intervensi elite lokal maupun pusat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pola semacam itu tidak berubah, ketika pemerintahan berganti menuju Orde Baru. Orde Baru mempergunakan pola-pola mobilisasi dan simbolisasi serta pemutusan hubungan masyarakat dengan kegiatan politik untuk mempertahankan kekuasaan dan menghindari kritik (input). Kemajuan ekonomi warisan Orde Baru dan kebebasan politik pada masa reformasi tidak serta merta merubah pola-pola semacam itu. Masyarakat perkotaan telah mengalami perubahan yang signifikan sehingga input masyarakat demikian kuat. Sebaliknya, masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan yang membuatnya sulit mengembangkan partisipasi yang sukarela dan rasional. Walaupun demikian, beberapa studi yang dilakukan sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan pun telah memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya di dalam politik di tingkat lokal hingga nasional dengan cara pandangnya sendiri.
Pemilu-pemilu di Indonesia
Sebagai pemberi legitimasi, Pemilu Orde Baru memainkan peran yang sentral untuk keberlangsungan rezim. Sejak Pemilu 1971, Pemilu tidak lebih dari sekadar pemberi legitimasi bagi Golkar untuk mendorong Soeharto sebagai presiden. Untuk keperluan itu, hasil Pemilu dalam persepsi rezim, haruslah memberikan kemenangan yang cukup signifikan bagi Golkar agar mampu mengatur dukungan parlemen atas Soeharto menjadi presiden. Beberapa cara dipergunakan untuk tujuan tersebut di antaranya pemutusan hubungan partai dengan rakyat melalui kebijakan floating mass, deideologisasi partai, monoloyalitas pegawai negeri dan fusi partai. Selain itu, dukungan birokrasi dan militer turut memberikan andil bagi tingginya perolehan suara Golkar. Menurunnya dukungan kedua lembaga tersebut atau minimal mengarah kepada netral disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya suara Golkar pada Pemilu 1999. Selain itu, mekanisme pemilihan umum juga membuat dukungan terhadap dua partai lainnya tidak mampu memaksimalkan persaingan. Sempitnya waktu kampanye dan sosialisasi berdampak pada rendahnya akseptabilitas masyarakat terhadap keduanya. Selain itu, sistem daftar nama yang diterapkan juga lebih memperkuat peran partai dalam menentukan wakil partai di parlemen dibanding suara rakyat sendiri sehingga muncul kesan bahwa wakil rakyat hasil pemilihan tidaklah menjadi wakil rakyat melainkan wakil partai. Rendahnya peran pemilih dalam menentukan wakil rakyat diubah dalam Pemilu 1999 sebagai Pemilu pertama yang menggantikan sistem Pemilu sebelumnya yang dianggap tidak memuaskan. Walaupun masih menggunakan daftar nama dan hanya memilih partai, penentuan wakil rakyat ditentukan oleh perolehan suara dari daerah asal seorang calon wakil rakyat. Cara ini diperbaiki lagi dalam Pemilu 2004 dengan mencantumkan nama di samping tanda gambar partai. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menentukan wakil yang lebih disukainya. Akan tetapi, sistem ini pun dinilai memiliki kelemahan di mana calon wakil rakyat harus mendapatkan BPP (bilangan pembagi pemilih) untuk dapat terpilih tanpa memperhatikan urutan nama di sebuah partai. Jika tidak terdapat calon yang mampu meraih BPP maka penentuan wakil rakyat didasarkan kepada nomor urut kembali. Di kemudian hari, kemungkinan untuk menghilangkan faktor BPP menjadi satu agenda yang penting agar wakil rakyat yang terpilih merupakan wakil rakyat yang paling populer (berdasarkan popular vote) dan tidak diwajibkan pula memilih tanda gambar partainya menjadi satu hal yang penting untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang lebih baik.Perubahan lain yang signifikan adalah diselenggarakannya pemilihan langsung untuk menentukan siapakah yang menjadi presiden dan wakil presiden. Pemilihan langsung ini menggunakan sistem absolute majority dengan ketentuan bahwa pemenang haruslah pasangan yang memperoleh dukungan suara lebih dari 50%. Pemilihan dengan basis distrik ini juga diterapkan dalam pemilihan anggota DPD sebanyak empat orang dari setiap provinsinya.
BAB II TIJAUAN
A. Partisipasi politik
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
- Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
- Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya.
- Rezim partisipatif - warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
- Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
- Perkembangan Partisipasi Politik di Indonesia
B. Pengertian Politik
Istilah politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani) yang artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti:1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.
2. Polites artinya warga Negara.
3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.
4. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik
atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan
bagaimana melaksanakan tujuannya.Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Pembagian atau alokasi adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat.Jadi, politik merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara mengikat.Sistem pilitik suatu Negara selalu meliputi 2 suasana kehidupan. Yaitu:
a. Suasana kehidupan politik suatu pemerintah (the Govermental political sphere)
b. Suasana kehidupan politik rakyat (the sociopolitical sphere)
Suasana kehidupan politik pemerintah dikenal dengan istilah suprastruktur politik, yaitu
bangunan “atas” suatu politik. Pada suprastruktur poliyik terdapat lembaga-lembaga Negara yang mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan politik (pemerintah).Suasana kehidupan politik pemerintahan ini umumnya dapat diketehuai dalam UUD atau konstitusi Negara yang bersangkutan. Suprastruktur politik Negara Indonesia meliputi MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, danDPA. Suasana kehidupan politik rakyat dikenal istilah “Infrastruktur politik” yaitu bangunan bawah suatu kehidupan politik, yakni hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelompokan warga Negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat.Infrastruktur politik mempunyai 5 unsur diantaranya:
1. Partai politik
2. Kelompok kepentingan
3. Kelompok penekan
4. Alat komunikasi politik
5. Tokoh politik
C. Pengertian Pemilu
Dari sudut pandang ilmu Hukum Tata Negara, pemilu merupakan objek pembahasanyang menarik. Salah satu kajian ilmu Hukum Tata Negara adalah hal- hal yang adakaitannya dengan masalah- masalah kekuasaan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan maka dari sudut pandang ilmu Hukum Tata Negara, pemilu merupakan proses pergantian kekuasaan yang dilakukan secara berkala dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan prinsip- prinsip yang digariskan oleh konstitusi. Pendiri Negara yang juga perancang konstitusi UUD 1945 telah menetapkan ajaran tentang kedaulatan rakyat yang ditransformasikan kepada badan perwakilan rakyat yang dinamakan MPR, DPR, dan DPRD. Implementasi dari ajaran kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum, karena pemilihan umum merupakan konskuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokratis) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan Negara.B. Dasar Pemikiran Diadakannnya Pemilu
Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Prinsip ini tercantum dalam UUD 1945. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, perlu dibentuk lembaga- lembaga permusyawaratan /perwakilan rakyat yang anggota – anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan (keterbukaan).
Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan system pemerintahan Negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintahan Negara yang dibentukmelalui pemilihan umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahtraan rakyat. Hanya pemerintahan Negara yang memancarkan kedaulatan rakyatlah yang memiliki kewibawaan kuat sebagai pemerintah yang amanah. Pemerintahan yang dibentuk melalui suatu pemilihan umum akan memilikilegitimasi yang kuat.
ASAS- ASAS DAN TUJUAN PEMILU
A. Asas Pemilu
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor XIV/MPR 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang
pemilihan umum, bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara demokratis dantransparan, berdasarkan asas JURDIL(jujur dan adil) dan LUBER(langsung, umum, bebas, dan rahasia).
a. Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, penyelenggara/pelaksana,pemerintah dan partai politik peserta pemilihan umum, pengawas dan
pemantau pemilihan umum, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat
secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
b. Adil
Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, setiap pemilih dan partai politikpeserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, tanpa ada
pengistimewaan atau diskriminasi terhadap pemilih atau peserta pemilu. Asas
jujur dan adil tidak hanya ditujukan kepada pemilih atau peserta pemilu saja,
tetapi juga penyelenggara pemilu.
c. Langsung
Rakyat pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung sesuaidengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
d. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimaldalam usia, yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah
kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga Negara yang
sudah berumur 21 (dua puluh Satu) tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang
bersifat umum itu mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga Negara yang telah memnuhi persyaratan
tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
e. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih, bebas untuk menentukanpilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan
haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih
sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
f. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akandiketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapa suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang
telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara suka rela bersedia
mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun.
B. Tujuan Pemilu
Untuk mewujudkan tata kehidupan Negara sebagaimana dimaksud olehPancasila, Undang- Undang Dasar 1945, serta cita- cita proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945, perlu diselenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum
bertujuan untuk memilih wakil rakyat, membentuk pemerintahan, melanjutkan
erjuangan mengisi kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan umum yang demokratis merupakan sarana untuk menegakkan
kedaulatan rakyat dan untuk mencapai tujuan Negara. Oleh karena itu, pemilihan
umum tidak boleh menyebabkan rusaknya sendi- sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
BAB III PEMBAHASAN
B. Partai Politik Dan Partisipasi politik
Salah satu hasil dari gerakan reformasi pada medio Mei ’98 yang dipelopori mahasiswa, hadirnya ruang kebebasan politik, dimana rakyat secara bebas untuk menjadi anggota dan mendirikan partai politik baru, diluar partai politik yang ada dan golkar. Kerinduan rakyat akan partai politik baru ini ditangkap oleh kalangan elit politik republik ini, dengan mendirikan partai politik dan menawarkan kembali idiologi-idiologi besar yang pernah tampil dipanggung politik Indonesia dimasa pemilu tahun 1955. Ada yang menghadirkan kembali ide besar Bung Karno dengan marhaenismenya; idiologi sosialisme ala Indonesia/sosialisme kerakyatan; ada yang mendasarkan pada ikatan-ikatan keagamaan, misalnya Islam, Kristen; selain itu juga yang mencoba bermain-main dengan mendasarkan pada basis konstituen kaum buruh, petani, nelayan, serta kaum miskin kota. Kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada sekitar 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos ikut bertanding dalam pemilu 1999. Pemilu pertama setelah jatuhnya rejim otoriter Soeharto. Uforia rakyat untuk terlibat dalam politik pun, seperti tidak terbendung. Ajang kampaye partai politik dihadiri ribuan/bahkan jutaan simpatisan pendukungnya. Rakyatpun meluapkan kebebasannya dengan melakukan arak-arakan di jalan-jalan raya, sebuah kejadian yang tidak pernah terjadi selama dibawah kekangan kokang senjata rejim Orde Baru selama 32 tahun. Jutaan rakyat tumpah-ruah dan berduyun-duyun menghadiri kampaye yang diadakan partai politik. Rakyat dengan kesadarannya, mendatangi tempat-tempat kampaye untuk mendengarkan para juru kampaye berkotbah, tentang visi kedepan bangsa Indonesia.Uforia rakyat untuk terlibat dalam aktivitas politik, ini terlihat dari banyaknya massa yang mendatangi kampaye, dan memberikan suaranya dibilik-bilik pemungutan suara, dengan satu harapan pemilihan umum kali ini akan melahirkan sosok pemimpin/wakil rakyat, yang benar-benar memperjuangakan kepentingan rakyat, pemimpin yang bersih dan tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang lazim terjadi di masa Orde Baru, seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tidak kurang seratus lima juta lebih rakyat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum tahun 1999. Terlepas dari segala kritik yang memgikutinya, pemilu tahun 1999, dinilai sukses oleh sebagian besar kalangan, sebagai pemilu yang demokratis kedua setelah pemilu tahun 1955. Pemilu di tahun 1999, kemudian menghadirkan elit-elit politik baru dalam pentas politik nasional, dan sebagian juga berasal dari elit politik lama, terutama dari partai Golkar. Rakyat kemudian menaruh harapan yang besar pada elit baru yang baru tumbuh, yang diharapkan akan membawa kesejahteraan rakyat dan jauh dari praktek-praktek korupsi. Harapan rakyat yang besar pada wakil-wakilnya yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, tidak berbanding lurus dengan tingkah laku para elit partai politik, banyak dari anggota DPR yang terlibat dalam kasus- kasus korupsi, sebagain dari elit partai ini tampil bak orang kaya baru, dengan menggunakan mobil-mobil mewah, bahkan mumcul anekdot “cari mobil mewah, ya di senayan’, gedung DPR menjadi showroom mobil mewah paling lengkap”. Perilaku/gaya hidup yang jauh dari kehidupan konstituen yang mereka wakili.Perilaku elit partai politik ini kemudian, disikapi secara apatis oleh rakyat, dengan menganggap/memandang secara sinis apapun yang berkaitan dengan politik; banyak argumentasi yang dikemukakan rakyat bahwa politik hanya menjadi urusan perebutan kekuasaan antar elit partai, dan rakyat hanya digunakan untuk menjadi alat dari perebutan kekuasaan semata. Argumentasi yang lebih jauh menunjukkan bahwa politik hanya menjadi permainan bagi segelintir elit partai, yang pada akhirnya hanya menjadi ajang berkarir, dan memperkaya diri sendiri.Apatisme rakyat akan politik disatu sisi, dengan lemahnya kontrol rakyat akan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan dirinya, rakyat mendapati para wakil-wakilnya tidak pernah memperjuangkan secara nyata beberapa kebijakan yang berimplikasi pada kehidupan rakyat, kebijakan kenaikan BBM, upah buruh yang jauh dari layak, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kenaikan harga pupuk dan kelangkaan pupuk yang selalu dialami para petani. Rakyat kemudian bertanya dimana wakil-wakil yang dulu dipilih saat pemilu, sikap lanjut dari apatisme rakyat, melahirkan fenomena yang dikenal sikap antipartai politik, bahwa sudah tidak ada beda lagi antara partai politik yang satu dengan lain, partai hanya hadir menjelang diadakannya perhelatan akbar kampaye, begitu masa kampaye usai, partai-partai kemudian menghilang bak ditelan bumi,Rakyat; Menjawab Dengan Golput Pemilu tahun 2004, seakan menjadi hukuman bagi partai politik, dimana pada pemilu tahun ini, jumlah golput mencapai rekor tertinggi sepanjang perhelatan pemilihan umum digelar. Golput yang pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar pada angka 10%, pada pemilu tahun 2004 menjadi 23,34%, fenomena golput juga semakin meningkat dibeberapa pilkada yang baru digelar Juni 2005, kecenderungan meningkatnya golput berdampak pada jumlah dukungan suara yang masuk kepada masing-masing pasangan calon peserta pilgub dan pilbup atau walikota. Kisaran angka 30% golput saja membuat pasangan peserta tidak akan meraih dukungan di atas 50%. Tidak mengherankan, jika kemenangan baik di pilihan gubernur, pilihan bupati atau walikota lebih banyak mencapai kisaran 40%, bahkan kurang dari 40%. Secara formal, legitimasi kemenangan memang sudah sah. Namun, legimatimasi dukungan masyarakat secara riil menjadi berkurang. Lebih jelasnya suara golput saat pemilu dapat dilihat pada tabel dibawah:Suara Golput Sepanjang Pemilu
Tahun Pemilu | Pemilih Terdaftar | Suara Sah | Golput | ||
Suara | % | Suara | % | ||
1955 | 43.084.719 | 37.785.299 | 87,7 | 5.299.420 | 12,3 |
1971 | 58.558.776 | 54.635.338 | 93,3 | 3.923.438 | 6,7 |
1977 | 70.670.153 | 64.733.860 | 91,6 | 5.936.293 | 8,4 |
1982 | 82.002.545 | 74.122.100 | 90,39 | 7.880.445 | 9,61 |
1987 | 93.965.953 | 86.082.210 | 91,61 | 7.883.743 | 8,39 |
1992 | 107.565.000 | 97.789.534 | 90,9 | 9.775.466 | 9,1 |
1997 | 125.640.000 | 112.991.150 | 89,9 | 12.648.850 | 10,1 |
1999 | 117.738.000 | 105.786.661 | 89,8 | 11.951.339 | 10,2 |
2004 | 148.000.041 | 113.456.840 | 76,66 | 34.543.201 | 23,34 |
Apabila menyimak angka-angka dalam tabel di atas menunjukkan bahwa, pelaksanaan pemilihan umum dari waktu ke waktu, jumlah golongan putih (golput) menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1955, yang dikenal paling luber dan paling demokratis, tingkat golput mencapai 12,3 persen. Fenomena golput masih belum tinggi di era pemilu orde baru yang rakyatnya masih dimobilisasi dalam pemilu. Pemilu 1971 golput mencapai 6,7 persen, kemudian meningkat menjadi 8,4 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,1 persen, dan 10,1 persen dalam Pemilu 1997. Sedangkan suara golput yang dicapai pada Pemilu 1999, pasca jatuhnya rezim otoriter, angka golput juga masih meningkat, yakni mencapai 10,2% persen. Hal ini bila memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput. Pada saat Pemilu 2004 angka golput meningkat tajam menjadi 23,34% persen.Pertanyaan yang layak diajukan kemudian, bagaimana bisa terjadi perubahan yang begitu cepat sikap rakyat terhadap partai politik dan rendahnya partisipasi politik, rakyat yang ditahun 1999, menyambut secara gegap-gempita hadirnya partai politik baru, dan terlibat secara suka rela untuk mendatangi kampaye dengan berarak-arakan, maupun datang ke bilik-bilik tempat pemungutan suara, untuk memberikan suaranya. Kondisi ini kemudian berbalik pada pemilihan umum tahun 2004. Pertayaan yang lebih lanjut sebenarnya bagaimana peran partai politik ditengah-tengah masyarakat.Representasi Semu Wakil Rakyat Pemilu pertama setelah rezim otoriter soeharto, melahirkan sirkulasi elit-elit baru dari pentas politik nasional, lahirnya elit politik baru/para wakil rakyat diharapkan akan membawa kepentingan rakyat yang menjadi konstituennya, selain itu para wakil rakyat ini menjadi representasi dari partai politik, yang lebih jauh sebenarnya merupakan representasi rakyat yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Hadirnya elit baru ini dimungkinkan karena salah satu dari fungsi partai politik, yakni rekrutmen politik. dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi/mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut. Hadirnya para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, diharapkan membawa kepentingan para konstituennya, dan memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat, akan tetapi kehendak ini jauh dari harapan semula, banyak kasus dijumpai para wakil rakyat lebih mengendepankan kepentingan pribadi dan partainya, fenomena penggusuran yang dialami pedagang kaki lima, penggusuran warga stren kali; mencerminkan betapa lemahnya para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dan kepentingan kelompok-kelompok marjinal di perkotaan. Ini sekali lagi menunjukkan representasi yang semu para wakil rakyat. Representasi yang semu dari para wakil rakyat, menunjukkan bahwa para wakil rakyat tidak berangkat dari dukungan rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Mereka hanya menjadi kepentingan partai politik semata, banyak dari wajah-wajah anggota DPR yang tidak dikenal rakyat, akan tetapi mereka para wakil rakyat sebagai anggota DPR, hanya karena kedekatannya dengan elit partai politik atau memiliki modal financial yang cukup untuk membeli nomor urut pencalegkan, maupun untuk membeli suara pemilih. Secara social para wakil rakyat ini tidak tumbuh dan besar dengan pergumulan rakyat, sehingga menjadi wajar para wakil rakyat tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.Rekrutment politik yang diharapakan sebagai sarana terjadinya rotasi dan mobilitas politik dalam tubuh partai, dimana terjadinya pergantian elit politik lama, dengan elit politik baru, baik secara alamiah maupun sebagai sarana hukuman rakyat terhadap elit. Rakyat sebenarnya berada pada posisi yang sentral dalam proses demokrasi, elit partai yang menjadi anggota DPR yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, akan dihukum dengan tidak memilihnya lagi pada pemilihan selanjutnya. Tetapi dalam kenyataannya partai politik selalu menghadirnkan elit-elit/caleg yang tidak mengakar pada rakyat, sehingga meskipun dimungkinkan untuk terjadi rotasi politik dalam tubuh partai, rakyat selalu mendapati para pemimpin yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, proses politik ini akan meminimalkan partisipasi politik rakyat, karena tiadanya wakil rakyat yang layak untuk dipilih.
B. Memperkuat Peran Partai Politik
Partisipasi politik rakyat menjadi elemen yang penting dalam proses demokrasi, tanpa partisipasi politik aktif rakyat, proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur demokrasi saja, selain itu minimnya partisipasi politik rakyat, hasil pemilihan umum menjadi lemah/kehilangan legitimasinya. Ada beragam cara untuk mendorong partisipasi politik rakyat; antara lain, Pertama; memperkuat kembali peran dan fungsi partai politik, peran dan fungsi partai politik antara lain sebagai sarana sosialisasi politik, Rekrutmen politik. Partisipasi Politik. Pemadu Kepentingan. Pengendalian Konflik, dan Kontrol politik. Selain itu partai politik memiliki struktur sampai pada tingkat yang paling bawah hingga pada tingkat RW, struktur ini akan efektif sebagai sarana pendidikan politik warga. Partai politik juga menjadi alat yang legal untuk melakukan pendidikan politik, peran-peran ini bila dilakukan secara maksimal akan menggantikan peran LSM dalam melakukan pendidikan politik rakyat. Kedua; memperkuat keterwakilan/representasi wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, partai harus lebih selektif dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk menentukan caleg yang akan diajukan pada pemilihan, baik menjadi caleg/calonwalikota, baik kapasitas/kemampuan secara personal juga rekam jejaknya, selain itu aspek representasi ini juga memasukkan unsur kedekatan caleg atau cawawali dengan rakyat, ada kesejarahan antara kandidat yang akan diusung dengan kerja-kerja pendampingan pada rakyat.
C. Perkembangan Partisipasi Politik dan Pemilu di Indonesia
A. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Sepanjang sejarah Indonesia yang menganut Negara berkedaulatan rakyat,telah diselenggarakan 10 kali pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD,yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Namun disini kami mengklarifikasikannya menjadi tiga bagian, yaitu pemilu tahun 1955, pemilu masa orde baru, dan pemilu era reformasi.
1. Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih
anggota- anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan Umum tahun 1955 merupakan pemilu nasional yang aman dan damai. Sebagaimana pemilu tahun 2004, partai politik peserta pemilu pada pemilu 1955 juga mencantumkan nama calon legislatifnya, sesuai dengan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Sifat terbuka dapat dilihat dari mekanisme pemilihannya, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 67 adalah pemilih memberikan suara kepada suatu daftar dengan menusuk tanda gambar daftar itu.(pasal 67 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1953). Selain itu, ketentuan UU yang menentukan bahwa pemilih yang mempunyai tempat tinggal lebih dari satu, harus menentukan salah satu tempat tinggalnya. Baik untuk menghindari adanya pendaftar doble dan juga untuk menghindari adanya kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh pemilih dengan memilih didua tempat.Lima besar dalam pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi,Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan partai Syarekat Islam Indonesia.Sebagai sebuah langkah awal untuk membentuk pemerintah yang demokkratis,pemilu tahun 1955 menjadi preseden baik bagi tumbuhnya semangat berdemokrasi untuk Indonesia.
2. Pemilu Orde Baru
Pemilu selama orde baru berlangsung selama enam kali dan hasil pemilu orde baru pada waktu itu didominasi oleh Golkar, dimana dia selalu menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara mutlak (diatas 50%).Pada pemilu orde baru memang mengandung berbagai kelemahan:
1. dari segi keterwakilan, wakil- wakil yang dicalonkan oleh partai tidak terikat oleh ketentuann domisili
2. dari segi hubungan antara wakil dan konstituennya, sisitem pemilu pada orde baru melahirkan hubungan yang renggang antara rakyat dan wakilnya.
3. komposisi DPR didominasi oleh mereka yang berasal dari wilayah yang padat penduduknya. Selain itu, dari sudut sistem kepartaian, pemilu orde baru memang menunjukan kesetabilan politik yang pada waktu itu hanya terdapat tiga partai politik, maka akan lebih mudah bagi partai yang menang dalam pemilu untuk memobilisasi massa dalam pemilu- pemilu berikutnya. Namun, kesetabilan tersebut tidak membawa dampak baik bagi masyarakat, karena justru kesetabilan itu memunculkan sebuah implikasi negative yaitu hak politik rakyat terbendung. Karena dalam perjalanannya, partai politik yang sudah ada itu tidak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat.
3. Pemilu Masa Reformasi
Reformasi ternyata membawa perubahan yang signifikan, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu 1999. Ternyata sistem multi partai pada saat itu membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi politiknya. Munculnya banyak partai politik pada saat itu yaitu 48 partai politik membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak buta politik. Dari segi kelembagaan, pelaksanaan pemilu pada Tahun 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati demokratis, ada komisi pemilihan umum. Terdapat juga lembaga pengawas dan pemantau pemilu yang non partisan. Dan lembaga yang terakhir ini dalam pemilu orde baru mustahil terjadi. Pada pemilu 2004, nampaknya dari segi kelembagaan pemilu ada perubahan. Komposisi KPU tidak lagi seperti pemilu 1999. KPU berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan wakil- wakil dari partai politik dan pemerintah.Meskipun pemilu 2004 diwarnai oleh beberapa kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu 2004 lebih baik dibandingkan ddengan pemilihan sebelummnya.Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya, baik pilihan partainya maupun pilihan wakil- wakilnya. Sistem pemilihan yang seperti ini dapat merekatkan hubungan antara si wakil dan yang di wakilinya.Mungkin kekurangan atau kelemahan pemilu 2004 ini hanya pada kurangefisiennya sosialisasi mengenai pendaftaran pemilih, cara pencoblosan dan sosialisai caleg masing- masing parpol seharusnya dilaksanakan jauh- jauh hari sebelumnya.
4. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden pertama diselenggarakan pada Tahun 2004.
D. PROSES PARTISIPASI POLITIK DAN PEMILU DI INDONESIA
Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota- anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
• Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai
politik dan individu,
• Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia,masyumi ,Nahdatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama,parmusi,Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Pemilu 1977-1997 Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden soeharto. Pemilu- Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari
partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa,
yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal
ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih
anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan
oleh anggota M P R.
Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRDKabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggotaD P D, suatu lembaga perwakilan
baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah
Pemilu 2009
Diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan RakyatDaerah (DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April,namun kemudian diundur[1]) 38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti denganG o lk a r dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan( P D I - P ).KOMISI PEMILIHAN UMUM
Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah
sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu,
KPU dituntut independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandir menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapaperaturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undangsecara lebih komprehensif.Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembagapenyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu.Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD,jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidakmengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden. Pemilu 2009 Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Sejak rezim orde lama, orde baru mau pun era reformasi system politik dan pemilu Indonesia banyak sekali mengalami perubahan. Pemerintah Indonesia telah berusaha membenahi sistem yang telah dengan landasan untuk mengedepankan kepentingan rakyat. Walaupun dalam pelaksanaan pemilu ini masih ditemui berbagai macam permasalahan tetapi ini semua wajar. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam menghadapai sesuatu. Manusia yang baik tidak akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Semoga untuk pemilihan umum yang berikutnya permasalah yang timbul dapat diminimalkan. Sehingga pemilihan umum dapat berjalan dengan lancar. Sehingga partisiapasipolitik dan pemilu di Indonesia terus mengalami kemajuan kea rah yang lebih baik ,bukan hanya banyak nya partai yang ikut serta tetapi tetapi harus di sertai kualitas dan adanya keinginan untuk memajukan bansa dan negara sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila.
B. SARAN
1. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara dan Pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi pemerintahan Negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah “untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka”
2. Menciptakan situasi dan kondisi yang lebih baik lagi dalam pemilu, apabila kita ingin mendapat pemimpin yang efektif serta dapat menggunakan dan menggabungkan berbagai gaya leadership yang berbeda, yang berakar pada sejumlah elemen nilai- nilai, emosional, dan intelektual yang unik.
3. Partisipasi politik dan pemilu sangat menentukan kemajuan dan kewibawaan suatu negara untuk itu diperlukan kesadaran yang tinggi pemerintah,pelaku partai politik dan masyarakat untuk menjalankan sistim politik dan pemilu yang lansung,umum,bebas,rahsia serta jujur dan adil yang bukan hanya sebagai selogan.dan juga system kepartaian yang berkualitas serta di perlukan peran serta pemeritah dalam membatasi jumlah partai politik dengan cara yang demokratis.
4. Undang – Undang Dasar dan pancasila adalah pedoman kita dalam menjalankan system politik dan pemerintahan untuk itu perlu ketegasan dan kesadaran kita dalam menjalankan nya.
DAFTAR FUSTAKA
Amir Taat Nasution, “Kamus Politik Nasional”, Energie, 1953
Arbi Sanit, “Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan”,
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980
Assosiasi Ilmu Politik Indonesia, “Jurnal Ilmu Politik”, Gramedia, 1986
Theda Scokpol, “States and Social Revolutions” New York: Cambridge
University Press, 1979
Mariam Budiarjo, dkk, “Dasar-dasar ilmu Politik”, Gramedia, 2003
Murshadi “Ilmu Tata Negara; untuk SLTA kelas III”, Rhineka Putra,
bandung, 1999
Nugroho Notosusanto, “Sejarah Nasional Indonesia”, Balai Pustaka, 2008
Nazaruddin, “Profil Budaya Politik Indonesia”, Pustaka Utama, 1991
Nazaruddin Sjamsuddin, “Dinamika Politik Indonesia”, Gramedia Pustaka
Utama, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar